Semarang — Perjuangan di usia 60 tahun, seorang perempuan lansia berjalan dari satu jalan ke jalan lain, hanya bermodalkan tisu di tangan, mencari rezeki di bawah terik matahari Semarang.
Wanita yang hangat di sapa Mbah N—nama samaran yang ia pinta, menuturkan bagaimana kerasnya hidup berjualan tisu.
“Kadang saya capek banget, Mbak.. badan sakit-sakit. Kaki saya sakit, jalan pun saya sudah tidak benar. Kaki saya pincang,” tuturnya pelan.
Tisu Jadi Saksi Bisu Perjuangan Hidup
Perjalanan panjang berjualan tisu, ia lakukan setiap hari demi menghidupi keluarganya. Berjualan tisu dari satu gang ke gang lain di kawasan Genuk, tanpa kendaraan, hanya bermodal kaki rentahnya, berjalan pulang-pergi dengan langkah yang semakin melemah, namun tak pernah benar-benar berhenti.
Empat anak dimilikinya, namun tak satu pun yang mampu atau mau melarangnya bekerja. Bahkan saat sakit, ia tetap dipaksa keadaan untuk berjalan jauh, membawa plastik berisi beberapa lusin tisu sebagai modal harian.
“Saya tidak punya pilihan,” katanya lirih. “Kalau gak jualan, gak makan…”
Rintangan Dibalik Perjuangan Panjang
Perjalanannya tidak hanya melelahkan, tapi juga diwarnai bahaya. Pernah suatu kali, ketika banjir menggenangi kawasan Genuk, Mbah N terpeleset. Tubuh renta itu terhuyung ke air keruh, tapi ia bangkit lagi karena harus tetap berjualan.
“Anak-anak mana ada yang tahu. Kadang saya lebih suka di jalan, banyak orang baiknya,” katanya sembari tersenyum gentir. Entah tersenyum karena mengingat begitu banyak orang baik yang membantunya, atau menertawakan nasibnya yang malah merasa lebih disayangi orang lain yang tidak ia kenal, ketimbang anaknya sendiri.
Sandal yang menemani langkahnya pernah putus karena terlalu sering dipakai menempuh jarak panjang. Beruntung, seorang warga iba dan memberinya sandal baru.
“Sendal saya putus, saya ikat dengan tali biar masih bisa dipake,” tuturnya menggunakan bahasa Jawa.
Nasib buruk tidak berhenti di situ. Pernah saat menunaikan salat Duha di sebuah musalah, dagangannya ludes dicuri orang. Semua uang dan barangnya tak bersisa, meninggalkan pilu di hatinya.
“Habis semua modal saya,” ujarnya. Hari itu ia pulang dengan tangan kosong.
Dalam keheningan yang ia jarang ceritakan pada siapapun, Mbah N mengaku pernah merasa kelelahan hingga muncul pikiran mengakhiri hidup.
“Capek sekali hidup. Kalau saya sakit, siapa yang urus? Anak-anak saja tidak mau merawat bapaknya sendiri,” katanya pelan.
Di rumah, situasi tak lebih ringan. Ia tinggal bersama sembilan orang anggota keluarga, termasuk anaknya yang sudah menikah.
Ada dua anaknya yang telah menikah, satu anak yang sudah menikah, memilih pisah rumah dan satunya lagi memilih menumpang di rumah Mbah N. Namun, tak ada yang memperingan tanggung jawabnya. Pekerjaan rumah menumpuk, dan Mbah N menyelesaikannya seorang diri.
Setiap hari, ia bangun pukul tiga dini hari. Ia memasak untuk seluruh penghuni rumah, membersihkan rumah, lalu mulai berjalan untuk menjajakan tisu.
Penghasilannya bukan untuk dirinya semata, uang itu digunakan untuk makan bersama keluarga bergantung pada sosok renta ini.
“Saya pernah sakit, terus gak kerja. Anak saya marah-marah, nyuruh saya tetap jualan,” tuturnya kali ini wajahnya nampak layu, matanya berkaca-kaca.
Tetangga dan saudara jauh tidak pernah benar-benar tahu apa yang ia tanggung. Mbah N memilih bungkam, takut jika hal itu diketahui orang dapat merusak reputasi dan nama baik anak-anaknya.
Miris, meski terus disakiti berulang kali atas perilaku anak-anaknya, hati seorang ibu yang terluka itu tetap memilih melindungi mereka, sekalipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.***
Baca Juga: Berpotensi Timbulkan Kemacetan: Perbaikan Jalan di Tlogosari Raya II




