Suaraonline.com – Cuma nulis doang, apa susahnya? Kalimat itu adalah salah satu duka penulis artikel yang paling sering didengar dan jadi alasan profesi ini kerap diremehkan.
Banyak yang menganggap pekerjaan menulis hanyalah kegiatan sederhana yang bisa dilakukan siapa saja, padahal proses di baliknya jauh lebih rumit daripada yang terlihat.
Duka Penulis Artikel yang Sering Terjadi
Menjadi penulis di era digital memang tampak keren, tetapi juga menyimpan ironi.
Banyak orang melihat profesi ini seperti pekerjaan santai yang hanya perlu duduk dan mengetik.
Kenyataannya, penulis harus memikirkan gagasan, memilih diksi, menyusun alur, dan memastikan tulisan tetap relevan bagi pembaca yang semakin kritis.
Dalam dunia yang bergerak cepat, terutama di media sosial, penulis artikel dituntut mengikuti tren, merespons fenomena sosial, dan tetap menjaga suara personal, semuanya dilakukan dalam waktu singkat.
Duka penulis artikel semakin terasa ketika tuntutan kuantitas mengalahkan kualitas. Penulis sering dikejar deadline, diminta menghasilkan banyak artikel dalam waktu singkat, sementara riset yang seharusnya menjadi pondasi tulisan justru harus dipersingkat atau bahkan dilewatkan.
Padahal, menulis bukan hanya merangkai kata. Tulisan yang baik harus punya nilai, informasi, dan manfaat bagi pembaca.
Tanpa riset dan waktu berpikir, tulisan mudah kehilangan kedalaman yang seharusnya menjadi ciri khas artikel bermutu. Namun, banyak orang yang tidak menganggap proses ini penting dan sangat sulit menjelaskan pada mereka.
Pada akhirnya, mereka hanya akan berkata “cuma nulis doang? Apa susahnya?
Jadi, inilah duka penulis artikel yang sering terjadi. Orang-orang yang bekerja di dunia yang jarang menghargai proses, namun banyak orang tetap memilih bertahan karena menulis adalah ruang paling jujur untuk bersuara.
Baca Juga: 3 Fakta Penulis yang Akan Mengubah Persektifmu
Editor : Annisa Adelina Sumadillah




