Suaraonline.com – Di era digital, penulis artikel sering kali dituntut serba bisa. Hari ini menulis tentang finansial, besok diminta bahas kesehatan mental, lusa mengulas gaya hidup.
Fenomena ini membuat tidak heran jika banyak penulis artikel merasa seperti psikolog dadakan saat harus menulis tema yang menyangkut emosi, perilaku, dan kondisi mental manusia.
Penulis Artikel Butuh Belajar Psikolog Saat Menulis Artikel
Pertama, penulis memang dituntut memahami topik secara luas, termasuk psikologi. Ketika diminta membuat artikel bertema kesehatan mental, penulis harus mampu menggambarkan fenomena manusia dengan cara yang relevan dan mudah dipahami.
Tanpa dasar pengetahuan psikologi yang cukup, tulisan bisa jadi dangkal dan kurang bertanggung jawab.
Kedua, penulis artikel perlu membaca banyak referensi untuk menghasilkan tulisan yang tidak hanya informatif tetapi juga dapat sesuai dengan isu manusia.
Dimana ilmu psikologi bukan sekadar teori, tapi menyangkut perasaan, pengalaman, dan cara berpikir seseorang. Karena itu, penulis harus berhati-hati dalam memilih kata agar tidak memberikan saran yang salah atau berlebihan.
Ketiga, meski penulis dapat mempelajari ilmu psikologi melalui buku, jurnal, atau artikel ilmiah, tetap ada batasannya.
Penulis hanya bisa menggambarkan sesuatu secara umum dan luas, berbeda dengan psikolog yang memiliki pemahaman mendalam dan kemampuan profesional dalam menganalisis kondisi seseorang atau penulis artikel yang memiliki latar belakang keilmuan psikolog.
Inilah alasan penulis perlu tetap berada dalam batas aman yaitu memberi informasi, bukan diagnosis.
Jadi, itulah mengapa penulis artikel seringkali harus bisa menjadi psikolog dadakan ketika menulis artikel bertemakan kesehatan. Yang penting adalah memahami dasar-dasar psikologi agar tulisan lebih empatik, akurat, dan bermanfaat, tanpa melampaui batas profesional.
Baca Juga: 4 Manfaat Menjadi Orang Aneh, Ternyata Bisa Mengurangi Stres
Editor: Annisa Adelina Sumadillah




