Suaraonline.com – Tren dan selera pasar yang semakin beragam sering kali menuntut penulis novel untuk menyesuaikan diri.
Belum lagi kedatangan platform digital yang bergerak cepat mengikuti minat pembaca, sehingga tema-tema tertentu mendadak ramai dan dianggap lebih “aman” untuk diproduksi. Dalam kondisi ini, tidak sedikit penulis novel yang merasa berada di persimpangan antara idealisme pribadi dan kebutuhan pasar.
Suka dan Duka Penulis Novel Mengikuti Tren
Sisi baik dari mengikuti tren adalah nilai konversional yang lebih tinggi. Novel yang selaras dengan minat pasar cenderung memiliki peminat yang banyak dan peluang cuan yang lebih realistis.
Bagi penulis novel yang menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan, tren bisa menjadi pintu masuk untuk membangun nama, memperluas pembaca, dan menjaga keberlangsungan karier menulis.
Namun di sisi lain, tren yang ada belum tentu disukai oleh penulisnya sendiri. Ketika menulis sesuatu yang tidak benar-benar diminati, proses kreatif bisa terasa berat dan melelahkan.
Penulis dituntut bekerja ekstra untuk memahami tren tersebut, mulai dari riset genre, gaya bahasa, hingga karakter yang disukai pembaca, sebelum menjadikannya sebagai aspek utama dalam tulisan.
Jika tidak hati-hati, mengikuti tren justru dapat mengikis kepuasan batin dalam menulis. Novel yang lahir dari keterpaksaan sering kehilangan kejujuran emosi, padahal hal itulah yang biasanya membuat cerita terasa hidup.
Penulis novel juga berisiko merasa jenuh lebih cepat karena terus menyesuaikan diri dengan selera pasar yang berubah-ubah.
Jadi, itulah fenomena dibalik mengikuti tren yang bukan sepenuhnya baik atau buruk. Kuncinya ada pada keseimbangan. Penulis novel perlu memahami pasar tanpa sepenuhnya mengorbankan suara dan nilai personalnya.
Ketika tren dipadukan dengan gaya khas penulis, novel tidak hanya berpotensi laku, tetapi juga tetap memiliki jiwa yang kuat.
Baca Juga : Benarkan Penulis Artikel Kebanyakan Berkepribadian Introvert?
Editor: Annisa Adelina Sumadillah




