Suaraonline.com – Tidak semua pembaca menyukai akhir cerita yang menyedihkan. Namun faktanya, cukup banyak penulis novel yang justru memilih sad ending sebagai penutup cerita mereka. Pilihan ini kerap memancing perdebatan, mulai dari dianggap realistis hingga dicap menyiksa emosi pembaca.
Meski begitu, sad ending tetap menjadi gaya yang terus bertahan dalam dunia sastra dan novel populer. Kenapa?
Penyebab Penulis Novel Suka Sad Ending
Salah satu penyebab penulis novel menyukai sad ending adalah karena jenis akhir ini cenderung lebih membekas di benak pembaca.
Cerita dengan akhir bahagia memang menyenangkan, tetapi sering kali cepat dilupakan. Sebaliknya, akhir yang menyedihkan mampu meninggalkan rasa kosong, marah, atau haru yang bertahan lama.
Meski tidak semua pembaca menyukainya, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ending “angsat”, efek emosional inilah yang membuat sad ending terasa kuat.
Selain itu, sad ending dianggap lebih cocok untuk tema-tema tertentu. Novel dengan tema cinta gila, obsesi, kehilangan, atau konflik ekstrem sering kali terasa kurang jujur jika dipaksakan berakhir bahagia.
Dalam konteks ini, sad ending berfungsi sebagai hikmah atau konsekuensi logis dari perjalanan tokoh. Penulis novel menggunakan akhir sedih untuk menegaskan pesan moral tanpa harus menggurui pembaca.
Penyebab lainnya adalah sad ending menjadi ciri khas. Beberapa penulis novel dikenal konsisten menghadirkan cerita-cerita bernuansa sedih.
Gaya ini akhirnya melekat sebagai identitas kepenulisan mereka. Pembaca pun datang dengan ekspektasi emosional tertentu, siap terluka sejak awal karena tahu cerita tidak akan berakhir manis.
Pada akhirnya, sad ending bukan soal menyenangkan atau tidak, melainkan soal kejujuran cerita. Selama sesuai dengan tema dan perjalanan karakter, pilihan akhir sedih justru bisa memperkuat makna novel dan meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya.
Baca Juga: Overthinking: Penyebab dan Cara Menghentikannya
Editor: Annisa Adelina Sumadillah




