Suara Online – Menangis sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan, terutama dalam budaya yang menuntut seseorang untuk selalu terlihat kuat.
Banyak orang menahan air mata karena takut dinilai rapuh atau tidak mampu mengendalikan diri.
Padahal, menangis adalah respons alami manusia terhadap tekanan emosional yang berat.
Secara biologis, menangis membantu tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol.
Air mata emosional berbeda dengan air mata refleks, karena mengandung zat kimia yang berhubungan dengan emosi.
Ketika seseorang menangis, tubuh sebenarnya sedang berusaha menyeimbangkan kondisi mental yang terganggu.
Dari sisi psikologis, menangis dapat menjadi bentuk pelepasan emosi yang sehat. Emosi yang terus dipendam tanpa saluran justru berisiko menumpuk dan memicu kelelahan mental, kecemasan, bahkan gangguan suasana hati.
Dengan menangis, seseorang memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk mengakui rasa sedih, kecewa, atau lelah yang selama ini diabaikan.
Menangis juga bukan berarti seseorang menyerah. Justru, banyak orang yang bangkit setelah menangis karena emosi yang membebani pikiran sudah sedikit berkurang.
Setelah itu, pikiran menjadi lebih jernih dan keputusan dapat diambil dengan lebih rasional. Dalam proses ini, menangis berfungsi sebagai jeda emosional sebelum melanjutkan langkah ke depan.
Penting untuk memahami bahwa setiap orang memiliki cara berbeda dalam mengelola emosi.
Ada yang menulis, ada yang berbicara, dan ada pula yang menangis. Selama tidak merugikan diri sendiri atau orang lain, menangis adalah mekanisme koping yang valid dan manusiawi.
Dengan mengubah sudut pandang terhadap menangis, kita belajar lebih berempati pada diri sendiri. Mengizinkan diri untuk menangis bukan berarti lemah, melainkan berani jujur pada apa yang sedang dirasakan. Dari kejujuran itulah, proses pemulihan emosional dapat dimulai.
Baca Juga : Mental Fatigue: Ketika Otak Kelelahan meski Badan Terlihat Sehat dan Bagaimana Cara Mengatasinya




