Suara Online, Semarang – Di sebuah sudut jalan yang ramai kendaraan, langkah perlahan seorang perempuan renta tampak berbeda dari hiruk pikuk yang ada. Tidak ada teriakan pedagang, tidak ada gerobak besar yang didorong.
Hanya seorang lansia dengan kaki yang pincang, membawa beberapa bungkus tisu yang ia tawarkan kepada siapa pun yang lewat.
Dialah Ibu N, perempuan berusia 66 tahun yang kami temui ketika melakukan liputan lapangan.
Kota yang terus bergerak cepat membuat keberadaannya hampir tidak terlihat kecuali ketika seseorang benar-benar memperhatikan.
Kami menghentikan langkah, membeli dua bungkus tisu seharga Rp15.000. Tapi lebih dari transaksi kecil itu, pertemuan kami membuka jendela cerita yang jarang terdengar.
Ibu N bukan sekadar pedagang kecil. Ia adalah bagian dari wajah lain kota: para lansia yang bekerja bukan untuk tambahan penghasilan, melainkan untuk bertahan hidup.
Saat duduk sejenak di pinggir trotoar, ia mulai bercerita. Suaminya kini sakit hernia dan tidak bisa bekerja. Empat anaknya yang mungkin di mata orang adalah harapan nyaris tidak memberikan bantuan. Rumah kecil yang ia tinggali dihuni sembilan orang, termasuk cucu-cucunya.
“Saya kerja supaya bisa masak dan makan,” ucapnya tenang.
“Kalau saya tidak kerja, saya dan keluarga tidak makan.”
Tidak ada keluhan. Tidak ada tuntutan. Hanya kenyataan yang diucapkan apa adanya, seolah kesulitan adalah sesuatu yang sudah lama ia pelajari untuk diterima.
Melihatnya berjalan dengan kaki pincang dari satu toko ke toko lain, kami semakin memahami bahwa kota ini tidak hanya dihuni oleh gedung-gedung tinggi, pebisnis besar, dan para pekerja kantor yang bergegas.
Ada pula orang-orang seperti Ibu N yang mengandalkan sisa tenaganya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan urban.
Pertemuan singkat ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang tua bisa menikmati masa istirahat. Ada yang tetap berjalan, tetap menjajakan barang kecil, dan tetap menanggung beban keluarga yang besar, meskipun tubuh mereka sudah lama memberi isyarat ingin berhenti.
Di balik senyum tipis Ibu N, ada pelajaran tentang keteguhan, tentang diamnya pengorbanan, dan tentang sisi kota yang sering luput dari perhatian: mereka yang berjuang tanpa suara.
Baca Juga : Di Usia 66 Tahun, Ibu Penjual Tisu Ini Tetap Berkeliling: “Kalau Saya Tidak Bekerja, Kami Tidak Makan”




