
Semarang- Forum Round Table RMOL Jateng ke-13 yang digelar di Semarang berlangsung hangat dengan munculnya berbagai pandangan dari sejumlah tokoh penting yang hadir.
Diskusi kali ini menyoroti program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG), yang disebut sebagai salah satu kebijakan sosial terbesar pemerintahan saat ini.
Dalam ruang diskusi tersebut, para peserta tampak berebut menyampaikan opini, tanggapan, dan analisis terkait arah serta tujuan dari kebijakan MBG.
Sebagian pihak menyatakan dukungan penuh terhadap program ini, menilai bahwa langkah pemerintah menyediakan makanan bergizi bagi siswa adalah bentuk nyata dari perhatian terhadap generasi penerus bangsa.
Mereka memandang bahwa intervensi gizi di tingkat sekolah merupakan cara paling cepat untuk memperbaiki kualitas kesehatan dan mencegah stunting yang masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Bagi kelompok yang mendukung, MBG dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk kualitas manusia Indonesia.
Dengan pemenuhan gizi sejak dini, mereka percaya anak-anak akan tumbuh lebih sehat, lebih fokus belajar, dan memiliki kapasitas kognitif yang lebih baik.
Program ini juga dinilai bisa membantu keluarga berpenghasilan rendah, mengurangi beban biaya makan anak sekolah, serta memperkecil kesenjangan sosial antarwilayah.
Suara Kritis: “Sebetulnya Program Ini Diciptakan untuk Apa?”
Namun, tidak sedikit peserta yang bersikap lebih kritis terhadap program tersebut. Sebagian di antaranya mempertanyakan kembali esensi dan arah kebijakan MBG.
Mereka menilai perlu dijelaskan dengan gamblang apa sebenarnya tujuan utama dari program ini apakah semata-mata untuk mencegah stunting dan memperbaiki gizi, ataukah ada visi pendidikan yang lebih luas di baliknya.
Kelompok ini berpendapat bahwa keberhasilan program sosial tidak cukup hanya diukur dari distribusi makanan bergizi.
Mereka menyoroti perlunya evaluasi yang lebih substansial terhadap dampak kebijakan, terutama apakah program ini benar-benar mampu meningkatkan kualitas belajar anak-anak di sekolah.
Menurut mereka, persoalan stunting dan gizi hanyalah satu bagian kecil dari tantangan besar pendidikan nasional yang juga mencakup kualitas pengajaran, kurikulum, serta lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam diskusi tersebut juga mengemuka pandangan bahwa program MBG sebaiknya tidak dijalankan secara seragam di seluruh daerah tanpa memperhitungkan kondisi lokal, termasuk ketersediaan bahan pangan, infrastruktur, dan daya dukung sekolah.
Pendekatan berbasis data dan kebutuhan wilayah dinilai lebih tepat agar kebijakan ini efektif dan berkelanjutan.
Pandangan Kontra: “Kecerdasan Tidak Ditentukan Makanan Saja”
Sementara itu, suara kontra juga muncul dari sebagian peserta yang memandang bahwa program MBG memiliki asumsi yang terlalu sederhana terhadap persoalan kecerdasan anak.
Mereka menilai bahwa kecerdasan tidak semata-mata ditentukan oleh makanan bergizi, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor genetik, pola asuh, dan kebiasaan belajar anak.
Kelompok ini berpendapat, meskipun gizi penting, menganggap makanan sebagai satu-satunya jalan menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah hal yang keliru.
Tanpa dukungan pendidikan berkualitas, motivasi belajar, dan peran keluarga, pemberian makanan bergizi saja tidak akan membawa perubahan signifikan terhadap prestasi siswa.
Beberapa peserta bahkan menyebut bahwa program MBG harus diimbangi dengan penguatan karakter, literasi, dan budaya belajar.
Jika tidak, program ini dikhawatirkan hanya menjadi kegiatan rutin administratif tanpa menghasilkan peningkatan nyata pada kecerdasan dan daya saing anak bangsa.
RMOL Jateng Dorong Diskusi Terbuka dan Kritis
Forum Round Table kali ini menunjukkan bagaimana isu MBG menjadi perbincangan publik yang kompleks.
Perbedaan pandangan antara pihak yang pro, kritis, dan kontra menunjukkan bahwa kebijakan sosial sebesar ini memang membutuhkan ruang diskusi yang terbuka agar tidak hanya berjalan di tataran teknis.
Sebagai penyelenggara, RMOL Jateng menegaskan pentingnya menghadirkan berbagai perspektif dalam setiap forum diskusi.
Tujuannya agar media tidak sekadar menjadi penyampai informasi, tetapi juga menjadi ruang refleksi publik untuk menilai arah kebijakan yang sedang dijalankan pemerintah.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa meskipun program Makan Bergizi Gratis membawa niat baik dan potensi besar, keberhasilannya tetap bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menyeimbangkan ambisi sosial dengan efektivitas kebijakan dan keberlanjutan anggaran.
Forum ini pun menjadi bukti bahwa isu MBG bukan sekadar soal makanan, melainkan cerminan dari seberapa serius negara membangun manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya.
Baca Juga : Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Dinilai Sebagai Intervensi Sosial Paling Ambisius




