Semarang – Kasus dugaan pelecehan berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI) kembali mencuat dan memicu kekhawatiran publik.
Terduga pelaku berinisial G dilaporkan memanfaatkan teknologi tersebut untuk membuat konten tidak pantas yang menyeret nama temannya sendiri, perempuan berinisial NS.
Informasi awal menyebutkan bahwa G mengakui tindakannya dilakukan “untuk konsumsi pribadi” dan berdalih memiliki perasaan terhadap korban.
Pernyataan tersebut langsung menuai kritik karena dianggap tidak masuk akal dan justru memperlihatkan bagaimana teknologi AI dapat disalahgunakan sebagai alat untuk melampiaskan keinginan pribadi yang merugikan orang lain.
Pengamat keamanan digital menilai bahwa perkembangan AI yang semakin pesat memang meningkatkan produktivitas masyarakat.
Namun di sisi lain membuka ruang bagi penyalahgunaan, terutama pada perempuan yang rentan menjadi objek manipulasi visual atau konten berbasis AI tanpa persetujuan.
Kasus ini memunculkan kembali diskusi publik mengenai batasan penggunaan teknologi dan pentingnya regulasi yang lebih ketat.
Sejumlah pihak menilai bahwa tindakan pelaku tidak bisa dibenarkan dengan alasan “memiliki rasa suka”, karena rasa suka atau ketertarikan tidak pernah dapat menjadi pembenaran untuk mengubah seseorang menjadi objek.
Aktivis perlindungan perempuan menegaskan bahwa tindakan manipulasi gambar, pembuatan konten tidak pantas, atau penyalahgunaan teknologi terhadap seseorang tanpa izin merupakan bentuk pelecehan digital.
Mereka menekankan bahwa cinta atau rasa suka seharusnya diwujudkan dengan sikap menghargai, bukan menjadikan seseorang sebagai media pelampiasan.
Hingga kini, pihak korban dikabarkan masih mempertimbangkan langkah hukum. Sementara itu, warganet ramai menyerukan pentingnya edukasi penggunaan AI yang bertanggung jawab dan perlindungan digital yang lebih kuat bagi perempuan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa teknologi, meskipun memiliki manfaat besar, dapat berubah menjadi ancaman ketika jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab.
Publik berharap penegakan hukum dan kebijakan mengenai penyalahgunaan AI dapat diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang.




