Suara Online – Banyak orang merasa bersalah karena dianggap malas, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kelelahan mental.
Kondisi ini sering kali tidak terlihat secara fisik, sehingga mudah disalahpahami, baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri.
Akibatnya, seseorang terus memaksa diri untuk produktif tanpa memahami batas kemampuannya.
Kelelahan mental muncul ketika otak bekerja terus-menerus tanpa jeda yang cukup. Tekanan pekerjaan, tuntutan sosial, overthinking, hingga ekspektasi berlebihan dapat menguras energi psikologis secara perlahan.
Berbeda dengan kemalasan, kelelahan mental biasanya disertai rasa lelah emosional, sulit fokus, cepat tersinggung, dan kehilangan motivasi, meskipun keinginan untuk melakukan sesuatu sebenarnya masih ada.
Sayangnya, budaya produktivitas sering mengajarkan bahwa istirahat adalah tanda kelemahan.
Hal ini membuat banyak orang mengabaikan sinyal kelelahan mental dan justru menyalahkan diri sendiri.
Padahal, memaksa diri saat kondisi mental tidak stabil justru dapat menurunkan kualitas kerja dan memperpanjang proses pemulihan.
Memahami perbedaan antara malas dan lelah secara mental adalah langkah awal untuk lebih berempati pada diri sendiri.
Jika tubuh masih mampu tetapi pikiran terasa berat dan penuh, kemungkinan besar yang dibutuhkan bukan dorongan motivasi, melainkan waktu untuk jeda.
Istirahat yang berkualitas, mengurangi distraksi, serta memberi ruang bagi emosi untuk diproses dapat membantu memulihkan kondisi mental secara bertahap.
Dengan mengenali kelelahan mental sejak dini, seseorang dapat belajar mengatur ritme hidup yang lebih seimbang.
Produktif bukan berarti terus bergerak tanpa henti, melainkan tahu kapan harus melangkah dan kapan perlu berhenti sejenak.
Baca Juga : Menerima Kenyataan bahwa Tidak Semua Mimpi Harus Tercapai demi Kesehatan Mental




