Pernah ngerasa capek tapi bukan cuma fisik lebih ke mental pikiran penuh, kepala berat, dan hati kosong? Nah, itulah yang sering disebut burnout. Fenomena ini bukan cuma istilah keren di media sosial, tapi realitas yang paling sering dialami oleh Gen Z, generasi yang tumbuh di tengah era cepat, ambisius, dan serba online.
Kalau dulu orang tua kita stres karena kerja fisik, sekarang banyak anak muda justru stres karena tekanan mental dan ekspektasi yang nggak kelar-kelar. Mereka kejar mimpi, tapi kadang lupa istirahat.
1. Terjebak dalam budaya produktif tanpa henti
Buat Gen Z, jadi produktif seolah jadi syarat untuk diakui. Setiap hari disuguhi konten “hustle culture” di media sosial bangun pagi, kerja keras, punya side job, ikut seminar, belajar skill baru semua demi “sukses sebelum umur 25 tahun.”
Tapi di balik semangat itu, ada beban besar. Rasa bersalah kalau nggak produktif. Takut tertinggal dari teman sebaya. Dan akhirnya, kelelahan yang menumpuk berubah jadi burnout. Ironisnya, mereka lelah bukan karena malas, tapi karena terlalu berusaha.
2. Tekanan hidup dan ambisi yang nggak realistis
Banyak Gen Z punya standar tinggi buat diri sendiri. Mereka pengen kerja ideal, punya penghasilan besar, sambil tetap punya work life balance dan waktu untuk diri sendiri. Tapi dunia nyata nggak seindah itu.
Persaingan karier makin ketat, biaya hidup naik, dan tuntutan sosial terus menghantui. Akhirnya, ambisi besar malah berubah jadi tekanan hidup yang nggak sehat. Mereka merasa gagal, padahal cuma manusia biasa yang lagi kewalahan.
3. Perbandingan sosial bikin lelah mental
Di era digital, semua orang berlomba tampil bahagia. Scroll TikTok atau Instagram, lihat teman udah sukses, traveling, atau punya bisnis. Padahal yang kelihatan cuma potongan terbaiknya aja. Tapi otak kita nggak bisa bedain akhirnya muncul perbandingan sosial yang bikin cemas dan minder.
Gen Z hidup dalam dunia di mana pencapaian orang lain selalu muncul di layar. Jadi wajar kalau banyak yang ngerasa belum cukup, bahkan ketika sebenarnya mereka udah berproses.
4. Lupa berhenti dan menenangkan diri
Kebanyakan orang nyari solusi burnout dengan self healing instan liburan, ngopi, atau staycation. Nggak salah, tapi kadang cuma jadi pelarian sesaat. Burnout nggak bakal selesai kalau kita nggak bener-bener ngasih ruang buat diri sendiri untuk tenang.
Kadang, yang dibutuhin bukan jalan-jalan, tapi istirahat dari overthinking. Nggak semua hal harus dikejar. Ada kalanya hidup cukup dijalani pelan-pelan.
5. Kehilangan makna di tengah ambisi
Banyak Gen Z kehilangan arah. Mereka kerja keras, belajar banyak, tapi nggak tahu lagi buat siapa dan buat apa. Ambisi besar tanpa makna hidup akhirnya cuma jadi beban.
Padahal, makna itu penting dia yang bikin semangat bertahan bahkan di tengah tekanan. Ketika hidup cuma diukur dari pencapaian, sisi manusiawi kita jadi hilang.
Jadi, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, berhenti membandingkan prosesmu dengan orang lain. Kedua, sadari kalau kamu nggak harus selalu produktif. Hidup bukan lomba. Kadang diam juga bagian dari tumbuh.
Ketiga, mulai pelan-pelan membangun makna. Fokus ke hal yang bikin kamu hidup, bukan cuma sibuk. Dan kalau kamu ngerasa capek banget, nggak apa-apa minta bantuan entah ke teman, mentor, atau profesional kesehatan mental.
Karena pada akhirnya, Gen Z bukan generasi yang lemah. Mereka cuma generasi yang hidup di zaman serba cepat, dan sedang belajar menemukan keseimbangan antara ambisi, produktifitas, dan makna hidup.
Baca Juga : Sering Berbicara Sendiri? Ternyata Ini Manfaatnya




