Suaraonline.com – Penulis novel seringkali terjebak dalam keinginan menghasilkan karyanya “perfect” atau disebut perfeksionis.
Keinginan untuk menghasilkan karya terbaik membuat banyak penulis novel terus memperbaiki detail kecil dalam tulisannya. Namun, di balik niat baik tersebut, sifat perfeksionisme kerap menjadi pedang bermata dua yang diam-diam memengaruhi proses kreatif.
Penulis Novel Perfeksionis Keunggulan atau Kelemahan?
Perfeksionisme bisa menjadi keunggulan ketika tidak menghambat alur kreatif. Penulis novel yang perfeksionis cenderung lebih teliti dalam membangun karakter, alur, dan emosi cerita.
Mereka peka terhadap detail dan berusaha memastikan setiap bagian cerita memiliki makna. Dalam batas sehat, sikap ini mampu meningkatkan kualitas tulisan secara signifikan.
Namun, perfeksionisme berubah menjadi kelemahan saat mulai menekan mental penulis. Ketika tuntutan untuk sempurna terlalu besar, semangat menulis perlahan menurun.
Penulis menjadi takut salah, ragu melanjutkan cerita, dan merasa tulisannya tidak pernah cukup baik. Akibatnya, proses menulis terasa berat dan melelahkan.
Dalam kondisi ekstrem, perfeksionisme bahkan membuat penulis berhenti menulis sama sekali. Fokus bukan lagi pada menyelesaikan cerita, melainkan pada kecemasan terhadap kualitas yang belum ideal.
Padahal, tulisan yang baik hampir selalu lahir dari proses, bukan dari kesempurnaan instan.
Pada akhirnya, perfeksionisme perlu dikendalikan, bukan dihilangkan. Penulis novel tetap boleh menuntut kualitas, tetapi harus memberi ruang bagi proses yang tidak sempurna.
Dengan begitu, semangat menulis tetap terjaga dan karya dapat berkembang seiring waktu, bukan terhenti oleh tuntutan yang terlalu tinggi.
Baca Juga : Pentingnya Membaca: Kenapa Penulis Artikel Harus Sering Membaca?
Editor: Annisa Adelina Sumadillah




