Suaraonline.com – Banyak penulis novel merasa hanya bisa menulis ketika suasana hati sedang bagus. Mood sering dianggap sebagai bahan bakar utama kreativitas, sehingga saat mood turun, proses menulis pun ikut terhenti.
Anggapan ini sudah lama beredar di kalangan penulis dan kerap dijadikan alasan ketika produktivitas menurun. Benarkah menulis novel harus selalu menunggu mood datang?
Peran Mood Bagi Penulis Novel Saat Menulis
Bagi penulis novel, mood memang berpengaruh terhadap kenyamanan menulis, terutama saat mengolah emosi, dialog, dan konflik. Ketika mood sedang baik, ide mengalir lebih lancar dan proses menulis terasa ringan.
Pada kondisi ini, penulis cenderung lebih ekspresif dan berani mengeksplorasi emosi cerita secara mendalam.
Namun, anggapan bahwa penulis novel tidak bisa menulis tanpa mood sepenuhnya adalah mitos. Jika selalu menunggu mood, proses menulis justru akan sering tertunda.
Mood bersifat fluktuatif dan tidak bisa diandalkan setiap hari. Penulis yang menggantungkan produktivitas pada suasana hati berisiko sulit menyelesaikan naskah.
Dalam praktiknya, banyak penulis novel profesional menjadikan menulis sebagai rutinitas, bukan aktivitas yang bergantung pada perasaan.
Mereka tetap menulis meski hasilnya belum maksimal, lalu memperbaikinya di tahap revisi. Dengan cara ini, mood bukan lagi penentu utama, melainkan bonus yang memperkaya proses kreatif.
Jadi, bisa dikatakan mood memang membantu, tetapi bukan syarat mutlak. Penulis novel yang mampu menyeimbangkan antara perasaan dan disiplin akan lebih konsisten dalam berkarya.
Menulis tidak selalu harus menunggu mood datang, karena sering kali mood justru muncul setelah penulis mulai menulis.
Baca Juga: Teknik Pomodoro untuk Menyelesaikan Tugas Tanpa Stres
Editor: Annisa Adelina Sumadillah




