Suara Online – Di tengah budaya serba cepat dan penuh perbandingan, makna “cukup” sering kali terasa kabur.
Banyak orang terus mengejar lebih banyak pencapaian, pengakuan, dan kepemilikan, tanpa sempat bertanya apakah semua itu benar-benar dibutuhkan.
Akibatnya, rasa puas menjadi sesuatu yang sulit dirasakan, meski secara objektif hidup sudah tergolong baik.
Redefinisi makna “cukup” dalam kehidupan bukan berarti berhenti berkembang atau kehilangan ambisi.
Justru, ini adalah upaya menyadari batas sehat antara kebutuhan dan keinginan. Ketika seseorang memahami apa yang benar-benar penting baginya, keputusan hidup menjadi lebih terarah dan tidak mudah terombang-ambing oleh standar orang lain.
Sering kali, perasaan tidak pernah cukup muncul karena kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
Media sosial memperkuat ilusi bahwa semua orang selalu melangkah lebih maju. Padahal, setiap individu memiliki fase, kapasitas, dan tujuan yang berbeda.
Menyadari hal ini membantu kita membangun definisi “cukup” yang lebih personal dan realistis.
Makna “cukup” juga berkaitan erat dengan rasa syukur dan penerimaan diri. Dengan menghargai apa yang sudah dimiliki saat ini.
Seseorang dapat tetap bertumbuh tanpa merasa hampa. Ambisi tetap ada, tetapi tidak lagi disertai tekanan berlebihan atau rasa takut tertinggal.
Pada akhirnya, redefinisi makna “cukup” dalam kehidupan adalah tentang keseimbangan. Cukup berarti mampu hidup selaras dengan nilai diri.
Jadi, merasa tenang dengan proses yang dijalani, dan tidak menggantungkan kebahagiaan pada validasi eksternal. Dari sinilah kualitas hidup yang lebih sehat dan bermakna dapat tumbuh.
Baca Juga : Berhenti Hidup Berdasarkan Ekspektasi Orang Lain demi Kesehatan Mental dan Kebahagiaan Diri




