SUARAONLINE – Isu terkait redenominasi kembali dibahas, menimbulkan wacana terkait sanering. Meskipun sanering dan redenominasi merupakan dua hal yang berbeda, keduanya sama-sama berkaitan dengan mata uang. Apa itu sanering? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Mengenal Kebijakan Sanering
Makna sanering jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) milik Kemendikbudristek, sanering memiliki arti secara harfiah, yaitu pemotongan uang. Sementara jika melansir dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sanering merupakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Tujuan dari kebijakan perubahan nilai mata uang adalah untuk memulihkan stabilitas ekonomi, mencegah penyebaran krisis dan meminimalisir dampak negatifnya terhadap masyarakat. Selain itu, kebijakan sanering juga berguna untuk mengembalikan kepercayaan investor asing.
Sebagai contoh penerapan sanering, semisal uang Rp. 5.000 diturunkan nilainya menjadi Rp. 500. Jika sebelumnya harga sebuah barang dibanderol Rp. 5.000, setelah diterapkan kebijakan sanering maka harga barang tersebut tetap sama. Artinya masyarakat perlu menyiapkan uang lebih untuk dapat membeli barang tersebut, atau dengan kata lain harus merogoh kocek 10 kali lipat dari biasanya.
Sejarah Penerapan Sanering di Indonesia
Adapun sejarah sanering atau pemotongan nilai uang di Indonesia, pernah terjadi tiga kali, yaitu pada tahun 1950, 1959 dan 1965. Kebijakan ini diterapkan pertama kali di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno era orde lama, sebagai respon terhadap situasi ekonomi yang sangat mengkhawatirkan.
- Kebijakan Sanering 1950
Kebijakan ini sering disebut sebagai kebijakan Gunting Syafruddin, sesuai nama Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syafruddin Prawiranegara. Dalam kebijakan ini, uang kertas dengan nilai nominal Rp 5 ke atas dipotong sebesar 50%.
Kebijakan ini berhasil mengisi kas pemerintah yang kosong setelah masa kemerdekaan, serta mengendalikan tingkat inflasi yang tinggi. Namun, dampaknya, kebijakan ini juga menciptakan tekanan ekonomi yang lebih besar di kemudian hari.
- Kebijakan Sanering 1959
Kebijakan ini melibatkan pemotongan nilai uang kertas Rp. 500 dan Rp. 1.000 menjadi Rp. 50 dan Rp. 100, sementara simpanan di bank-bank dibekukan. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar, yang pada saat itu mencapai Rp. 1,5 triliun, serta mengendalikan tingkat inflasi yang mencapai 119%.
Sayangnya, kebijakan ini juga menimbulkan dampak negatif, seperti penurunan pendapatan masyarakat, meningkatnya pengangguran, dan penurunan produksi barang dan jasa. Tak ayal, kebijakan tersebut menimbulkan gejolak ketidakpuasan masyarakat.
- Kebijakan Sanering 1965
Kebijakan ini melibatkan pemotongan nilai uang kertas Rp1.000 menjadi Rp1 dan pembatasan jumlah uang tunai yang boleh dimiliki oleh masyarakat. Langkah ini diambil untuk mengatasi tingkat inflasi yang sangat tinggi waktu itu yakni 594%, serta untuk menghapuskan utang luar negeri sebesar US$ 2,3 miliar.
Sayangnya, kebijakan ini ternyata membawa dampak buruk pada perekonomian Indonesia, di mana harga barang terus melonjak dan pengangguran meningkat. Bahkan, inflasi terus naik tak terkendali mencapai 635,5% pada tahun 1966.
Kebijakan penerapan sanering adalah langkah penting untuk menjawab krisis ekonomi. Dengan tindakan yang tepat, pemerintah bisa mengendalikan krisis, melindungi masyarakat dan memulihkan pertumbuhan ekonomi. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan sanering bukanlah solusi yang tak berisiko dan harus dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan.
Pemahaman yang baik tentang kebijakan sanering sangat penting dan berdampak pada perekonomian membuat kita lebih siap menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.
Baca Juga: Redenominasi: Penyederhanaan Nilai Mata Uang