SUARAONLINE.COM – Lebaran adalah momen yang selalu dinantikan, tidak hanya karena tradisi mudik dan silaturahmi, tetapi juga karena aneka hidangan khas yang selalu hadir di meja, salah satunya adalah nastar. Kue kecil dengan isian selai nanas ini hampir tidak pernah absen saat hari raya. Tapi, pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa kue ini begitu identik dengan lebaran? Ternyata, ada filosofi mendalam di balik kehadiran kue ini. Yuk, kita bahas lebih lanjut!
Asal Usul Nastar
Nama “nastar” berasal dari bahasa Belanda, yaitu “ananas” (nanas) dan “taart” (tart), yang berarti kue tart nanas. Kue ini diperkirakan dibawa oleh bangsa Belanda ke Indonesia pada masa kolonial. Di Eropa, tart biasanya dibuat dengan isian buah-buahan seperti apel atau blueberry, tetapi karena di Indonesia nanas lebih mudah ditemukan, maka dibuatlah versi lokalnya dengan isian selai nanas.
Seiring waktu, kue ini menjadi bagian dari budaya kuliner Indonesia, terutama sebagai kue khas saat lebaran. Rasanya yang manis dan sedikit asam dari nanas membuatnya digemari oleh berbagai kalangan.
Filosofi Nastar Menjadi Kue Khas Lebaran
Salah satu alasan nastar begitu istimewa adalah kombinasi rasanya yang unik. Kulit kuenya yang lembut dan sedikit gurih berpadu dengan selai nanas yang manis dan asam. Filosofi di balik rasa ini adalah gambaran kehidupan manusia yang penuh suka dan duka, manis dan pahit, yang semuanya harus dijalani dengan penuh kesabaran.
Ketika seseorang menikmati kue ini, ia tidak hanya mencicipi kelezatannya, tetapi juga mengingat bahwa dalam hidup, kebahagiaan datang setelah melewati tantangan dan kesabaran, sebagaimana proses pembuatan selai nanas yang membutuhkan waktu dan kesabaran untuk mencapai rasa yang pas.
Di beberapa budaya, nanas melambangkan kemakmuran dan keberuntungan. Hal ini dapat dilihat dari budaya Tionghoa yang menganggap nanas sebagai simbol rezeki dan kebahagiaan. Oleh karena itu, menyajikan nastar saat lebaran bisa diartikan sebagai doa agar keluarga yang datang bersilaturahmi mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan.
Selain itu, bentuk bulat dari kue ini melambangkan kebersamaan dan keharmonisan. Hal ini mencerminkan makna lebaran yang identik dengan mempererat tali silaturahmi dan saling memaafkan.
Selain itu, dalam membuat nastar bukan hanya sekadar memasak, tetapi juga memiliki filosofi tersendiri. Prosesnya membutuhkan kesabaran, mulai dari membuat adonan, memasak selai nanas hingga mengisi dan memanggangnya dengan hati-hati agar tidak pecah. Hal ini bisa diibaratkan seperti membangun hubungan dengan sesama diperlukan ketulusan, perhatian, dan usaha agar tetap harmonis.
Saat lebaran, banyak keluarga yang membuat nastar bersama, menjadikannya momen kebersamaan yang menyenangkan. Aktivitas ini bisa mempererat hubungan keluarga dan menciptakan kenangan manis yang akan dikenang sepanjang hidup.
Lebaran juga identik dengan berbagi kebahagiaan, baik dalam bentuk maaf maupun makanan. Nastar, dengan rasanya yang lezat dan tampilannya yang menggugah selera, sering dijadikan hantaran untuk sanak saudara atau tetangga. Filosofi berbagi ini mengajarkan kita untuk selalu memberi dengan penuh keikhlasan, karena semakin banyak yang kita bagikan, semakin besar pula kebahagiaan yang kita dapatkan.
Itu dia alasan mengapa nastar selalu menjadi salah satu kue yang selalu ada ketika lebaran. Nastar bukan sekadar kue lebaran biasa. Di balik rasanya yang lezat, ada makna mendalam tentang kehidupan, kebersamaan, dan keberkahan. Rasa manis dan asamnya mengajarkan kita tentang suka dan duka kehidupan, bentuknya yang bulat melambangkan kebersamaan, dan tradisi berbagi nastar mengingatkan kita akan pentingnya memberi dengan tulus.
Baca Juga : Kebiasaan Masyarakat Menyambut Lebaran: Dari Membersihkan Rumah hingga Menyajikan Hidangan Khas